Surat Kecil Malika

Siang kian terik. Matahari seakan menari diatas kepala—mengeluarkan tawa puas menyaksikan anak manusia yang kian rapuh dengan keadaan zaman. Zaman pun tak berubah hanya berputar berdasarkan arus waktu yang kian berburu. Jam masih saja berputar seperti kemarin. Tak ada yang berubah—selain anak anak manusia yang berubah dengan dirinya sendiri. Waktu tak pernah merubah manusia—manusia merubah dirinya sendiri.

pos..” teriak seorang laki-laki tua berbaju orange. Matanya gelap dan mukanya seakan penuh dengan butiran debu yang memeluk mesra. Ditangannya ia genggam sebuah amplop ukuran besar. Mirip orang mau melamar kerja. Dialah Pak Pos yang biasa mengantar surat ke rumah dan seisi komplek. Namanya Pak Nasiran.

iya pak” aku mengarus dari balik jendela.

ada kiriman untuk Neng Alea

iya pak makasih.” Aku pun mengambil surat itu. Dan Pak Nasiran pun bergegas tanpa sempat aku mengucapkan terima kasih. Sungguh aku tak mengenal siapa yang mengirimkan surat yang cukup berat ini—aku heran.

Malika Anwar
Jl. Veteran No. 41 Surabaya.

Begitulah pengirim dan alamat lengkapnya. Sepengetahuanku selama ini tak ada keluarga yang berasal dari Surabaya—keluarga kami semuanya berada di Jogja. Aku pun membuka segel yang terbuat dari benang melingkar di kancing amplop surat itu. Ternyata isinya surat dan beberapa foto. Aku kaget karena dari dalam amplop itu ada fotoku dan Arya—mantan pacarku yang sudah meninggal tahun 2008. Foto-foto kami waktu masih pacaran. Aku pun membuka surat itu.
Dear Alea,

Perkenalkan namaku Malika. Aku adalah adik kesayangan dari kakakku tercinta, Arya. Entah mengapa aku ingin sekali bertemu denganmu untuk sekedar menjelaskan kejadian beberapa tahun silam agar tak ada sesuatu yang mengganjal—Kejadian untuk membawa kakakku dari jogja ke Surabaya. Namun, sebelum ia berangkat ke Surabaya ia menyempatkan menulis untukmu yang aku titipkan dokter Syarifah. Itulah terakhir kalinya Kak Arya menulis surat.

Tahukah kamu Alea. Kak Arya begitu mencintaimu. Ia sering menceritakan semua tentangmu. Mulai dari kebiasaan sampai pada hal yang sangat menjengkelkanmu. Banyak senyum dan tawa yang keluar dari bibirnya seakan tak ada rasa sakit yang mengguncang dahsyat dalam dirinya. “mengenal Alea, aku bisa mengenal Tuhan”. Itulah kata kagum yang kakak sering lontarkan untukmu Alea.

Tiap anak manusia tak pernah tahu kapan dan dimana ia akan menjemput kematiannya—bahkan tak pernah meminta adanya kematian. Kematian bentuk perpisahan sementara karena dunia terlalu sempit untuk dijadikan surga. Terkadang kematian menimbulkan misteri yang tak pernah diketahui manusia. Tapi, disinilah posisi Tuhan berada—sesuatu yang tak terjangkau oleh nalar logika manusia. Makanya kematian menjadi otoritas Tuhan yang tak pernah dimengerti oleh manusia.

Kami sekeluarga tak pernah tahu tentang penyakit yang dialami Kak Arya. Hanya saja, waktu pulang untuk liburan tepat 4 bulan jelang kematiannya. Ia berteriak keras dalam kamar—dan sejak waktu kami baru tahu bahwa Kak Arya mengidap leukemia. Inilah masa-masa yang sangat menyedihkan bagi kami sekeluarga. Wajah Kak Arya yang pucat, hidungnya yang sering mengeluarkan darah, rambutnya yang rontok tanpa kami cukur. Dan yang membuat kami sangat miris ketika malam tiba Kak Arya selalu merasa kedinginan. Seakan dunia sudah penuh dengan pelukan es. Kak Arya menahan sakitnya sendiri. Ada banyak nanar dari sudut matanya—kami hanya mampu menangis, dan hanya menangis Alea..

Hampir semua rumah sakit di Surabaya memvonis umur Kak Arya kurang dari 3 bulan—penyakit leukemia yang diidapnya sudah stadium empat. Artinya, harapan hidupnya sangat kecil. Bahkan suatu malam waktu kami sekeluarga berkumpul untuk mencari alternatif penyakitnya. Dengan tegas Kak Arya menolak untuk diadakan transplantasi sumsum tulang belakang yang rencananya akan diambil dari sumsum tulang belakang bunda. Sungguh, Kak Arya tak penah mau melihat orang yang dicintainya merasa kehilangan. Jika Tuhan sudah berkehendak mengambil nyawanya ia pun sudah memasrahkan segalanya—tak ada raut sedih diwajahnya Alea.

Tak terhitung tumpahan air mata yang mengalir Alea. Bukan karena kematian yang kami takutkan melainkan tak tega melihat perjuangan Kak Arya melawan rasa sakit yang tiap waktu datang secara tiba-tiba—tanpa permisi Alea. Aku lihat bibir bawahnya mengelupas. Barangkali karena Kak Arya menggitnya untuk menahan rasa sakit penyakitnya. Matanya sudah pucat lebam dengan lingkaran hitam yang mengelilingi.

Kak Arya melarang kami untuk sekedar mengambil fotonya selama ia sakit. Ia tak mau dianggap seorang yang penyakitan. Jika pun dengan penyakitnya ia harus pergi duluan menemui Tuhan—ia berharap tak pernah ada rasa sedih yang melanda meski sebentar saja. Dunia sebagai persinggahan tak lain ruang untuk memperbaiki diri dan menyiapkan bekal setelah hidup. Aku tak mau membangkitkan kembali masa-masa menyedihkan itu Alea. Baik untukku dan untukmu.

Alea, Kehadiranmu membawa perubahan besar dalam hidup Kak Arya. Ketidakpeduliannya terhadap hal yang kecil justru membawanya pada penghargaan yang luar biasa. Ia mampu membawa kami pada sebuah kesadaran tenang arti sebuah kehidupan dan bagaimana menghargainya. Maka atas nama apapun kehidupan sangatlah perlu untuk dijunjung tinggi keberadannya. Menghargai kehidupan sama saja dengan menghargai keberadaan dan kebesaran Tuhan.

Maafkanlah kami jika sekiranya ada banyak hal yang dari tutupi dari pengetahuanmu tentang Kak Arya, Alea. Kami hanya ingin kematian bukan untuk diratapi dan disesalkan seumur hidup. Semua sudah ada dalam rahasia Tuhan. Makanya, kami merasa sangat bersyukur kamu bisa melihat perginya Kak Arya di PKU Muhammadiyah. Untuk sekedar mengantarkan dia kedalam alam lain yang tak bisa kita nalar dan kita mengerti. Kembalinya dia ke jogja dengan penyakit yang sudah akut itu. Hanya dengan satu harapan yakni bisa melihatmu untuk yang terakhir kali. Ya, yang terakhir kalinya. Sebagai wanita terakhir yang ia cintai. Sungguh!

Salam,
Malika.

Tiba-tiba dunia seakan lumpuh dan enggan menari lagi. Untuk sekedar menjaga wibawa grafitasinya. Aku linglung seakan terlempar pada masa lalu waktu aku masih bersama dengan Arya. Kematian memang selalu menyisakan sedikit kenangan untuk sekedar menjaga bathin sebagai pengingat. Tuhan selalu adil dalam memandang tiap jengkal kehidupan manusia. Dan tak pernah ada jurus matematika untuk menjelaskannya. Aku sudah ikhlas melihat Arya pergi dengan tenang menemui Tuhan. Rasa dari segala kehidupan.
"Hidup harus terus berjalan ke depan. Untuk menjadi orang yang membesarkan jiwanya untuk membesarkan orang lain"
Itulah pesan Arya kekasihku. Kekasih nomor satu!



...

Cerpen kok bersambung. Bukannya cerpen itu langsung kelar sekali tenggak baca. He! Sengaja saya membuat cerpen ini dengan cara bersambung. Biar teman-teman tidak kehilangan si Alea. Tentunya, dengan cerita yang berbeda; cerita, galau, senang, susah yang dialami Alea dan alam sekitarnya. Dengan mencoba mengangkat kisah nyata yang coba disajikan dengan cara fiksi—dan saya memberi tema “PerjalananPanjang”. Itz.. tetap ini bukan Novel lho. Maksa! :)

Kalau teman-teman mau membaca  cerpen ini dari awal, ini dia link : PerjalananPanjang. Cerita paling awal ada dibagian paling bawah. Semoga bermanfaat ya :)

0 comments: